Dua Wajah Barat Di Balik Sengitnya Negara-Negara Yang Lagi Adu Kuat

Perang Rusia-Ukraina masih terus bergulir. Pasukan militer kedua negara masih berjibaku melancarkan serangan demi serangan dan memastikan kemenangan. Hingga kini pun media masih mendulang traffic memuat pemberitaan terbaru mengenai situasi diantara kedua negara.

Perang memang mengerikan dari segi manapun. Pasalnya ini menyangkut hajat hidup banyak orang. Kalau sudah urusan hajat hidup, persoalan ibu-ibu yang rebutan minyak goreng gara-gara stoknya terbatas pun bisa sama ngerinya, hanya skalanya saja yang mungkin berbeda.

Pada peperangan problemnya adalah, kita suka bertanya kenapa perang masih semarak padahal hal tersebut sebenarnya merupakan bentuk penyelesaian konflik paling primitif yang tidak akan berkesudahan. Itu sebabnya Mahatma Gandhi pernah berkata jika mata dibalas mata, maka dunia akan buta. Karena memang faktanya perang, genosida, sampai tawuran itu kerap kali akan menyisakan dendam. Memangnya kenapa banyak sekolah-sekolah masih sering tawuran kalau bukan awalnya masalah antar individu yang merembet jadi masalah kelompok? Bagi yang pernah ikut jadi bagian tawuran pasti relate.

Meletusnya konflik bersenjata antara Rusia dengan Ukraina memang cukup mengejutkan dunia Internasional. Bahkan ada yang mulai menyebut inilah awal mula dari perang dunia ketiga.

Disamping gencarnya serangan dilancarkan oleh kubu militer kedua negara, hal lainnya yang gencar disuarakan adalah kecaman atas tindakan Rusia yang melakukan gempuran militer terhadap Ukraina. Kecaman demi kecaman itu kemudian berujung pada pernyataan sikap untuk Rusia atas tindakannya dan mendesak presiden Putin agar menghentikan operasi militer terhadap Ukraina. Kecaman paling keras dan paling santer diserukan datang dari negara-negara barat yang bahkan sampai mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Sanksi tersebut antara lain akan berdampak pada bidang perekonomian serta kerjasama antara Rusia dengan dunia internasional.

Namun dibalik itu semua, sejumlah pihak justru mempertanyakan sikap negara-negara barat terhadap Rusia dilakukan dengan standar ganda, mengingat konflik bersenjata tak hanya terjadi di Rusia. Seorang jurnalis, Ahmed Twaij, menyinggung sikap AS dan negara-negara Barat yang tidak vokal bahkan lemah ketika menyangkut konflik Israel dan Palestina serta konflik di luar Eropa.

Padahal sebagaimana diketahui bahwa konflik bersenjata yang melanda Palestina bukan terjadi dalam hitungan hari, minggu, atau bulan saja, tapi bahkan sudah seperti jadi bagian dari keseharian penduduk Palestina. Agak sedikit berlebihan memang, tapi jika lagu Michael Heart yang berjudul ‘We Will Not Go Down’ saja diberi label restricted di Youtube karena dianggap menyinggung ‘pihak-pihak tertentu’, menyebut adanya standar ganda dunia barat terhadap kedua konflik bersenjata ini sah-sah saja.

Sikap negara-negara barat yang cenderung menaruh keberpihakan di satu sisi membuat kita bertanya-tanya, apa mungkin perdamaian di muka bumi ini akan bisa terwujud atau memang semua itu merupakan kamuflase atas kepentingan-kepentingan tertentu saja? Sikap tersebut mirip seperti David Packouz yang kencang sekali menolak terjadinya perang bersama istrinya tapi diam-diam menjadi pemasok senjata untuk kebutuhan militer negaranya bareng Efram Diveroli.

Menurut pengamat politik, Dunia Barat seperti negara-negara Eropa cenderung abai terhadap kondisi Palestine vs Israel dan vokal pada konflik Rusia vs Ukraina tidak lain dan tidak bukan karena ada campur tangan AS yang memang punya pengaruh besar. Hal ini dikarenakan Eropa memiliki hutang budi pada Amerika Serikat sehingga sedikit banyak berakibat pada keselarasan sikap yang dimiliki dunia barat pada urusan politik Internasional. Sedikit menjawab mengapa konflik Palestine vs Israel seringnya mentok di rapat PBB saja. Apalagi fakta bahwa Israel didukung oleh AS semakin membuat negara-negara Eropa agak sungkan untuk mencoba cawe-cawe didalamnya. Bukan apa-apa, salah sedikit bukan tidak mungkin merekalah yang bakal kena senggol AS.

Lucunya, Perdana Menteri Israel, Naftali Bennett, mengatakan bahwa negaranya siap untuk menengahi konflik antara Ukraina dan Rusia. Kalimatnya terdengar patriot, bukan? Tapi, masa iya, beliau lupa kalau urusan menyangkut negaranya dan Palestina sendiri masih banyak disoroti. Memang penyakit lupa ingatan itu sepertinya tidak hanya melanda perpolitikan nasional, tapi kelihatan juga di sisi lain dunia.

Dari sini, kita tahu kalau sejatinya hubungan antar negara-negara tidak jauh berbeda dengan hubungan antar manusia. Sikap-sikap politik sebuah negara pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sikap personal., dan pemimpin negara adalah cerminan dari sikap sebuah bangsa. Ya kalau pernyataan PM Israel bisa dikatakan jauh panggan dari api, lain ucapan lain perbuatan, itu berarti mencerminkan kalau bangsa israel memang orang-orang yang terpilih – untuk jadi contoh kemunafikan yang nyata.

Dan sekarang, kita sedang menyaksikan bagaimana kemunafikan politik internasional bekerja. Mempertontonkan usaha heroik mengecam, membela, memberi sanksi. Dengan wajah manis sebagian besar dari mereka mengecam Rusia, tapi abai pada apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina.