Kerja di Lingkungan Toxic

Arizka, 26 tahun, harus ekstra sabar ketika berada di kantor. Pasalnya, pegawai HRD di sebuah perusahaan startup ini harus menghadapi bermacam drama tiap bertemu beberapa temannya.

Arizka menceritakan bahwa beberapa orang di kantornya kerap bergunjing. Mulanya ia tak mempermasalahkan hal tersebut, tapi makin lama Arizka makin tak nyaman. “Kalau si A enggak ada di tempat, mereka pasti mengejek pekerjaannya si A. Nanti kalau si B yang pergi, gantian deh si B diomongin. Jangan-jangan kalau aku yang nggak ada, gantian aku yang diomongin,” kata Arizka.

Masalah tak hanya itu saja. Di kantor, Arizka pun harus menguatkan hati bertemu dengan beberapa senior yang menurutnya sok tahu dan sok kuasa. “Orang-orang yang udah lama di kantor aku itu suka merasa paling bener. Misalnya soal aturan keterlambatan datang, toleransi maksimalnya lima belas menit, pernah sekali aku ingetin soal toleransi keterlambatan, malah mereka bilang, ‘biasanya nggak gini’. Atau ‘yang penting kan kerjaan beres semua’.Terus gara-gara ulah mereka, banyak karyawan lain yang ikut-ikutan datang telat,” ungkap Arizka kesal.

Selain itu, Arizka juga membeberkan kelakuan rekan kerjanya yang suka bicara tentang keburukan karyawan lain saat meeting dengan atasan mereka. “Gimana ya, banyak sih yang suka cari muka. Kalau lagi meeting sama atasan atau pas evaluasi kerja bilang si A begini, si A begitu di depan bos. Sok ngasi solusi padahal cuma pengen diliat wise aja. Kalau kerjaan banyak, ngeluh, lembur dikit, ngeluh terus giliran nggak beres yang disalahkan malah orang lain,” tutur Arizka.

Menghadapi rekan kerja yang beracun juga dialami oleh Ifa (25), seorang Supervisor divisi kreatif. Seringkali Ifa hampir mengundurkan diri dari perusahaannya karena tak tahan dengan rekan kerjanya. “Kerjaan dia itu sering nggak beres, jadinya semua komplain dilimpahkan ke aku, aku yang ditegur” ujar Ifa. Hal yang membuat Ifa kesal, rekan kerja Ifa itu suka marah-marah dan merasa pekerjaan dia sudah maksimal dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Padahal sesunguhnya ia hanya menetapkan standarnya sendiri “Kalau marah-marah, ngerasa bener tapi kerjanya dia ada sih mending. Nah ini, kerjaan nggak beres, tapi ogah ditegur” beber Ifa.

Pengalaman bertemu dengan toxic workers barangkali tak hanya dialami oleh Arizka dan Ifa saja, tapi juga banyak dari orang-orang yang hidup sebagai karyawan. Sebuah artikel yang ditulis oleh seorang pengusaha bernama Kim Lachance Shandrow di Business Insider mengatakan bahwa seorang karyawan beracun hadir dalam rupa-rupa yang mengerikan, seperti penggosip, penindas, hingga pemalas.

Masalahnya, kehadiran mereka dalam sebuah perusahaan tak hanya merusak, tapi juga mengganggu kinerja orang-orang di sekitarnya. Shandrow mengumpamakan seorang toxic worker seperti sel kanker, mereka bisa melemahkan energi sekitarnya, dan melumpuhkan moral, kinerja, dan produktivitas rekan kerja mereka. Bagi seorang pengusaha, toxic worker adalah sebuah petaka yang mampu menggerogoti bisnis secara perlahan. Pendapat Shandrow bukanlah tanpa alasan. Michael Housman pernah melakukan penelitian berjudul “Toxic Workers” (2015) untuk mengetahui tentang pekerja-pekerja yang berbahaya bagi sebuah perusahaan. Penelitian itu dilakukan terhadap 60.000 pekerja di 11 perusahaan. Housman melaporkan bahwa ternyata pekerja yang memiliki kualitas kinerja buruk memang cenderung menjadi toxic worker. Dari sisi kuantitas, kerja mereka memang lebih tinggi dibandingkan pekerja lainnya, tapi hasilnya jauh dari yang diharapkan. Tentu saja hal itu bisa menimbulkan kerugian finansial bagi perusahaan, sebab tak jarang, kecepatan kerja mereka justru menjadikan pekerja kerap berperilaku sembrono. Orang mungkin menganggap toxic worker hanyalah orang-orang pemalas dengan motivasi kerja yang rendah, tingkat absensi yang tinggi, dan kerap bekerja tak sesuai tenggat waktu. Namun, Shandrow menyebutkan bahwa salah satu tanda karyawan beracun adalah karyawan yang kerap menjadi martir.

Karyawan martir mungkin kerap dianggap sebagai primadona bagi para bos, padahal sikap individualis mereka justru kerap menimbulkan masalah bagi perusahaan. Biasanya karyawan tipe ini selalu ingin dipuji oleh orang lain jika mereka telah berkorban untuk perusahaan. Namun sayangnya, sikap itu justru membuat mereka tertekan dan mudah emosi, tak jarang pula mereka mencibir hasil pekerjaan orang lain. Jika kesabaran Anda terhadap pekerja beracun telah habis, Muhammad Usman dalam artikelnya yang berjudul “How to Manage Toxic Employees in an Organization?” (2018) memberikan solusinya. Pertama, galilah lebih dalam penyebab masalah yang dihadapi oleh toxic worker. Artinya, Anda harus mendekatkan diri kepada mereka agar memahami perilaku dan masalah mereka. Bukan tak mungkin perilaku mereka disebabkan karena masalah pribadi atau merasa tidak bahagia dengan pekerjaannya. Jika alasannya sudah ketemu, bantu rekan kerja Anda untuk kembali ke jalan yang benar. Namun jika ternyata rekan Anda memiliki masalah psikologis, ajaklah dia berkonsultasi kepada ahlinya. Dalam kasus tertentu, para pekerja beracun itu tak menyadari bahwa kelakuan mereka ternyata berdampak bagi rekan-rekan sekantornya, sebab mereka biasanya terlalu fokus pada diri mereka sendiri. Untuk itu, ajaklah mereka berbicara. Jelaskan masalah-masalah yang muncul akibat tingkah laku mereka dengan contoh yang spesifik. Berikan mereka kesempatan untuk mengubah diri dan menyelaraskan dengan lingkungan kerja mereka. Selain itu, Anda juga disarankan untuk membeberkan potensi kerugian perusahaan atas tingkah laku mereka. Beritahukan pula kepada mereka bahwa dia bisa kehilangan pekerjaan karena sikap tersebut.

Jika semua itu telah dilakukan tapi dia belum berubah, dokumentasikan semua pelanggaran yang telah dia lakukan. Jika Anda seorang pengusaha, mintalah tanggapan atas segala perilakunya, dan ajukan penawaran untuk membuat dia berubah. Tak ada salahnya juga Anda memisahkan kursi mereka dari karyawan lain. Hal tersebut berguna agar mereka tak merusak kinerja pekerja lain. Lalu bagaimana jika Anda sendiri adalah teman kerja beracun? Dalam artikel yang dipublikasikan dalam Harvard Businesss Review (2016), Psikolog sosial Heidi Gant menyarankan Anda meluangkan waktu untuk introspeksi diri. Tempatkanlah diri Anda di posisi si rekan kerja. Lakukan secara teratur agar Anda memahami perspektif mereka. Tunjukan empati Anda. Jangan takut pula untuk meminta maaf terhadap kelakuan Anda yang menyebalkan selama di kantor.